Minggu, 12 Februari 2012

Children learn what they life (Dorothy law nolte,Ph.D)

If children live with criticism, they learn to condemn.
if children live with hostility, they learn to fight.
if children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves
if children live with ridicule, they learn to feel shy.
if children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
if children live with encouragement, they learn to confidence.
if children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
if children live with approval, they learn to likr themselves.
if children live with recognition, they learnit is good to have a goal
if children live with sharing, they learn generosity.
if children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
if children live with kindness and consideration, they learn respect.
if children live with security, they learn to have faith in themselves and those about them.
If children live with friendliness , they learn the word is a nice place in which to lie.
how about your children?????????????








Jumat, 10 Februari 2012

Language acquisition

Language acquisition has been studied from the perspective of developmental psychology and neuroscience, which looks at learning to use and understand language parallel to a child's brain development. It has been determined through empirical research on developmentally normal children as well as through some extreme cases of language deprivation that there is a "sensitive period" of language acquisition in which human infants have the ability to learn any language. This plasticity is whittled down as a child becomes exposed to the specific sounds and structure of his or her language environment, and so the child quickly becomes a native speaker of that language. As Christophe Pallier noted, "Before the child begins to speak and to perceive, the uncommitted cortex is a blank slate on which nothing has been written. In the ensuing years much is written, and the writing is normally never erased. After the age of ten or twelve, the general functional connexions have been established and fixed for the speech cortex." According to the sensitive or critical period models, the age at which a child acquires the ability to use language is a predictor of how well he or she is ultimately able to use language.[31] However, there may be an age at which becoming a fluent and natural user of a language is no longer possible. Our brains may be automatically wired to learn languages, but this ability does not last into adulthood in the same way that it exists during development. By the onset of puberty (around age 12), language acquisition has typically been solidified and it becomes more difficult to learn a language in the same way a native speaker would. At this point, it is usually a second language that a person is trying to acquire and not a first.[32]
This critical period is usually never missed by cognitively normal children- humans are so well prepared to learn language that it becomes almost impossible not to. Researchers are unable to experimentally test the effects of the sensitive period of development on language acquisition because it would be unethical to deprive children of language until this period is over. However, case studies on abused, language deprived children show that they were extremely limited in their language skills even after instruction
Recent advances in functional neuroimaging technology have allowed for a better understanding of how language acquisition is manifested physically in the brain. Language acquisition almost always occurs in children during a period of rapid increase in brain volume. At this point in development, a child has much more neural connections than he or she will have as an adult, allowing for the child to be more able to learn new things than he or she would be as an adult.
Average Age Language Development
6 months Cooing, changes to distinct babbling by introduction of consonants
1 year Beginning of language understanding; one-word utterances
12–18 months Single word use; repertoire of 30-50 words (simple nouns, adjectives, and action words), which cannot as yet be joined in phrases but are used one at a time does not use functors (the, and, can, be) necessary for syntax, but makes good progress in understanding
18–24 months Two-word (telegraphic) phrases ordered according to syntactic rules; vocabulary of 50 to several hundred words; understands propositional rules
2 years New words every day; three or more words in many combinations; functors begin to appear; many grammatical errors and idiosyncratic expressions; good understanding of language
3 years Full sentences; few errors; vocabulary of around 1,000 words
4 years Close to adult speech competence 

Apa sich kecerdasan spiritual itu!

Kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.

Awal juni lalu, kita dikejutkan oleh peristiwa tragis yang terjadi di Bandung. Seorang wanita yang dikenal sholeh, berpendidikan tinggi, sanggup membunuh 3 anaknya sendiri dalam waktu 24 jam. Bagaimana mungkin seorang wanita yang taat beragama bisa melakukan hal seperti itu? Apalagi kemudian terungkap alasan dari tindakannya itu. Katanya, ia membunuh anak-anaknya justru karena sangat menyayangi anak-anaknya dan takul tidak mampu rnenjadi ibu yang baik.

Menurut DR Jalaluddin Rakhmat MSc, itu bisa terjadi karena dia tidak bahagia. Kalau meminjam istilahnya Tony Buzan, pakar tentang otak manusia dari Amerika, kemampuan seseorang untuk berbahagia dalam segala situasi berhubungan dengan kecerdasan spiritualnya. Seseorang yang dikatakan taat beragama belum tentu cerdas secara spiritual. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan spiritual? Dan apa bedanya dengan kecerdasan emosional?

Bedanya Kecerdasan Emosional dan Spiritual

Pada awalnya, orang hanya mengenal kecerdasan iritelektual, kemudian muncul kecerdasan emosional dan kini kecerdasan spiritual. Menurut DR Jalaluddin Rakhmat MSc, seorang psikolog, kecerdasan emosional (emotional intelligent) dipopulerkan Daniel Coleman meskipun dia bukan penemunya. Psikolog Howard Gardner adalah orang yang pertama menemukan sejenis kecerdasan untuk bisa memaharni orang-orang lain, dan disebutnya sebagai kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligent).

Oleh Daniel Coleman, selelah sepakat dengan penelili-peneliti lain, kecerdasan interpersonal itu disebutnya kecerdasan emosional. Pada intinya, kecerdasan emosional adalah kemampuan orang untuk memahami orang-orang di sekitamya, berinteraksi untuk mengembangkan empati, simpati, dan untuk bisa bekerjasama.

Sedangkan Howard Gardner merumuskan delapan kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan musikal, kinestetik (kemampuan menari), visual (kemampuan menggambar, mengekspresikan sesuatu dalam bentuk lukisan), logis matematis, interpersonal (personal), intrapersonal (berpikir refleksi), linguistik (menggunakan bahasa), dan naturalistik. Tapi Gardner tidak memasukkan kecerdasan spiritual karena katanya kecerdasan spiritual itu tidak punya tempat di dalam otak kita seperti kecerdasan yang lain.

Tapi belakangan kecerdasan spiritual itu menurut penelitian-penelitian di bidang neurologi (ilrnu tentang syaraf) justru punya tempat di dalam otak. |adi ada bagian dari otak kita dengan kemampuan untuk mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, untuk melihat Tuhan. Dalam hal ini maksudnya adalah menyadari kehadiran Tuhan di sekitar kita dan untuk memberi makna dalam kehidupan. jadi ciri orang yang cerdas secara spiritual di antaranya adalah bisa memberi makna dalam kehidupannya.

Sedangkan ciri umum orang yang cerdas secara emosional yaitu sukses dalam kehidupan, sukses dalam pekerjaan, mampu bekerjasama dengan orang lain, mampu mengendalikan emosi. Dia juga biasanya pintar menarik hati orang lain, bisa memahami sifat setiap orang dengan tepat, biasanya juga hafal nama-nama orang yang dikenalnya dan mengetahui kesenangan dan ketidaksukaan orang itu. Orang yang cerdas secara emosional itu dalam tingkat yang negatif bisa memanipulasi orang tapi dalam tingkat yang positif bisa menjadi pemimpin yang baik.

Cerdas Spiritual Beda Dengan Sikap Religius

Sayangnya, masih menurut DR jalaluddin Rakhmat, di Indonesia kecerdasan spiritual lebih sering diartikan rajin salat, rajin beribadah, rajin ke masjid, pokoknya yang menyangkut agama. Jadi kecerdasan spiritual dipahami secara keliru. Padahal kecerdasan spiritual itu kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Ada juga orang yang mengartikan kecerdasan spiritual itusebagai kemampuan untuk tetap bahagia dalam situasi apapun tanpa tergantung kepada situasinya.

Mengutip Tony Buzan, pakar mengenai otak dari Amerika, DR jalaluddin Rakhmat menyebutkan bahw ciri orang yang cerdas spiritual itu di antaranya adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, jadi merasa rnemikul sebuah misi yang mulia kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta (Tuhan atau apapun yang diyakini, kekuatan alam semesta misalnya), dan punya sense of humor yang baik. Di Amerika, pelatihan-pelatihan kecerdasan spiritual ditujukan untuk itu, yaitu melatih orang memilih kebahagiaan di dalam hidup.

Penelitian itu dilanjutkan sampai muncul aliran di dalam psikologi yang membuat terapi baru. Dulu kalau ada orang depresi diobati dengan obat anti depresi seperti prozak, sekarang cukup disuruh beramal, menolong orang lain, ternyata terjadi perbaikan. Dengan menolong dan beramal, dia menemukan bahwa hidupnya bermakna, dan itu namanya kecerdasan spiritual, jadi orang yang cerdas spiritual itu bukan yang paling rajin salatnya, tapi yang senang membantu orang lain, mempunyai kemampuan empati yang tinggi, juga terhadap penderitaan orang lain, dan bisa memilih kebahagiaan dalam hidupnya.

Di Indonesia buku Kecerdasan Spiritual yang pertama ditulis oleh Danah Zohar. Saya memberikan kata pengantar disitu sekaligus mengkritik Danah Zohar, tapi ada juga yang tidak saya kritik yaitu kata-kata Danah Zohar bahwa bisa saja seorang ateis malah memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Banyak orang menjadi ateis itu bukan karena argumentasi rasional tapi karena tingkah laku para pemeluk agama yang mengecewakan mereka misalnya melihat orang-orang beragama yang tidak bisa menghargai perbedaan pendapat, merasa dirinya paling benar, dan suka menghakimi orang lain.”

“jadi ada orang yang tidak mempersoalkan Tuhan, yang penting bisa berbuat baik kepada orang banyak. Ini ciri orang yang cerdas spiritual juga. Sekarang baru terbukti secara psikologis bahwa banyak menolong orang itu membuat bahagia. Mengapa? Karena dengan begitu kita jadi menemukan misi hidup.” Demikian penjelasan DR |alaluddin Rakhmat.

Kecerdasan Spiritual Bisa Dilatih

Kini pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual semakin mudah ditemukan (lihat boks “Cara praktis cerdas spiritual” dan “Cerdas emosi dan spiritual lewat sembilan jalan”). Masih menurut DR Jalaluddin Rakhmat, mengikuti training bisa saja membantu mempengaruhi kecerdasan spiritual selama konsepnya benar. Keberhasilan seseorang belajar lewat training dapat dilihat jika setelah mengikuti training hidupnya berubah menjadi positif yang tadinya depresi atau menderita kecemasan, ketakutan pada masa depan, kebingungan, lalu menjadi bahagia.

Cara Praktis Cerdas Spiritual

Menurut Erbe Sentanu dari Katahati Institute, kecerdasan spiritual itu mempunyai banyak konsep, kiat, dan caranya. “Saya sendiri selalu melihat ke sisi pragmatis dan empirisnya,” katanya. Orang yang cerdas secara spiritual itu bagaimana sih rasanya? Otak dan tubuhnya beroperasi seperti apa?

“Buat saya cerdas secara spiritual atau dekat dengan Tuhan itu harus dibuktikan dengan berada di zona ikhlas yang mensyaratkan tiga hal, yaitu gelornbang otaknya harus lebih banyak dalam posisi Alfa dan Tetha, kemudian sistem perkabelan otaknya (neuropeptide) serasi dan memunculkan perasaan tertentu kepada Tuhan, lalu tubuhnya harus cukup mengandung hormon serotonin, endorfin, dan melantonin dalam komposisi yang pas. Dalam kondisi itu, maka dengan sendirinya ciri-ciri kecerdasan spiritual akan muncul.”

“Tanpa ketiga syarat itu, agak sulit dipercaya. Misalnya seseorang mengaku dekat dengan Tuhan tapi hormon di tubuhnya dominan kortisol, yaitu hormon yang muncul pada saat orang stres, bagaimana mungkin? Seseorang yang dekat dengan Tuhan mestinya lebih banyak berada dalam kondisi khusyuk, kondisi rileks, dan hormon di tubuhnya pasti hormon yang bagus seperti hormon DHEA, serotonin, endorfin, dan melantonin”.

Mempelajari kecerdasan spiritual tidak bisa begitu saja lewat buku, karena hasilnya hanyalah pemahaman kecerdasan spiritual lewat logika, apalagi kalau membacanya sambil stres. Akan lebih efektif jika menggunakar brainwave technology, yaitu dengan mendengarkan CD musik yang berfungsi rnenarik gelornbang otak ke Alfa-Theta selama 20 menit pada pagi dan petang hari.

Kita juga bisa melatih kecerdasan spiritual lewat puasa dengan syarat puasa tersebut dijalankan dengan benar. Karena puasa bisa menurunkan gelornbang otak dari Beta ke Alfa-Theta sehingga rnembuat orang lebih sabar dan memunculkan keinginan untuk berbuat baik. Kalau itu berlanjut hingga 10 hari maka otaknya akan stabil beroperasi di Alfa-Theta. ” “Kalau hal itu bisa berlanjut hingga 20 hari, maka hormon-hormon yang baik dan menenangkan akan diproduksi oleh tubuh. Saat itu dia akan melihat hidup ini dengan cara lain, menjadi mudah bersyukur, mudah rnerasa terharu.”

” Memunculkan perasaan mudah bersyukur itu penting sekali karena rasa syukur bisa diartikan sebagai kemampuan menikmati hidup ini apapun kondisinya, sehingga susah atau senang rasanya tetap nikmat. Rasa syukur yang benar, dalam arti betul-betul menghayati nikmatnya hidup, juga sangat membantu memunculkan kecerdasan spiritual. (N)

Rabu, 08 Februari 2012

tips perawatan rambut muslimah

Tips Perawatan Rambut Wanita Berjilbab

Kadang wanita takut akan rambut yang sering memakai jilbab,mengakibatkan rambut rusak dan bau.
  • Pilihlah bahan kerudung yang bisa menyerap keringat
  • Jangan gunakan kerudung lebih dari 4 lapis,menyebab rambut anda susah bernafas
  • Jangan terlalu sering memakai kerudung dalem yang kencang,akan mengakibatkan rambut sukar bernafas dan lembab
  • Lebih baik anda menguraikan rambut anda saat memakai jilbab atau bila diikat jangan terlalu kencang. Panjang rambut yang idel adalah 60 cm untuk menghindari rambut digulung.
  • Pilih sisir yang memiliki gigi besar dan sisirlah rambut sebelum memakai jilbab. Ini akan merapikan rambut anda dan melancarkan peredaran darah anda.
  • Cucilah rambut anda 2 – 3 hari sekali secara rutin dan gunakan shampo sesuai dengan jenis rambut anda. Gunakanlah shampo yang lembut agar bisa digunakan setiap hari. Dan keringkan rambut sebelum memakai kerudung karena apabila berkerudung saat rambut basah bisa membuat anda meras pusing.

Selasa, 07 Februari 2012

silabus English for children



SILABUS MATA KULIAH


I.                   IDENTITAS MATA KULIAH
a.    Mata Kuliah            : English for children
b.    SKS                                    : 3 SKS
c.    Semester                 : 1 (satu)
d.   Jenjang                    : Strata 1 (S1)
e.    Program                  : PG PAUD

II.                DESKRIPSI MATA KULIAH :
Mata kuliah ini memberikan konsep bagaimana mengajarkan bahasa Inggris untuk anak usia dini. Ketrampilan yang diajarkan meliputi ketrampilan mengucapkan kata dalam bahasa Inggris, mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Sedangkan komponen bahasa pendukung ketrampilan berbahasa yang diajarkan adalah kosa kata dan tata bahasa. Seluruh ketrampilan dan komponen berbahasa tersebut disajikan dalam setiap pertemuan secara terintegrasi agar mahasiswa benar- benar memiliki kemampuan yang mumpuni setelah lulus.

III.             TUJUAN PERKULIAHAN
Mata kuliah bahasa Inggris ini bertujuan untuk
1.      Memberikan konsep pengajaran bahasa Inggris untuk anak usia dini
2.      Memberikan ketrampilan dan komponen berbahasa inggris yang sesuai untuk diajarkan pada anak usia dini
3.      Mampu menerapkan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan bahasa Inggris untuk anak usia dini

IV.             POKOK BAHASAN PERKULIAHAN
1.      The young language learner
a.       Two main groups of the young learner
b.      Characteristic of young language learner
c.       Language development
d.      How children learn a foreign language
(Pertemuan ke-1  tnggal _____________)
2.      Class management and atmosphere
a.       Seating arrangement
b.      Management of children
c.       Guedelines to classroom control
(Pertemuan ke-2 tanggal _____________)
3.      Listening
a.       Listening in the classroom
b.      Listen and do activities
c.       Listen and repeat activities
d.      Listening the stories
(Pertemuan ke-3 tanggal _____________)
4.      Oral work
a.       General comment
b.      Presenting new language orally
c.       Dialog and role playing
(Pertemuan ke-4 tanggal _____________)
5.      Reading
a.       Approach to reading
b.      Method in reading
(Pertemuan ke-5 tanggal _____________)
6.      Writing
a.       writing is not always easy
b.      technik of writing
((Pertemuan ke-6 tanggal _____________)
7.      Topic-based work
a.       Why do topic-based work?
b.      How to set it?
(Pertemuan ke-7 tanggal _____________)
8.      Planning the work
a.       The teacher  planning their work
(Pertemuan ke-8 tanggal _____________)
9.      The tools of the trade
a.       Kind of media in teaching the young learner
(Pertemuan ke-9 tanggal _____________)
10.   Teaching simulation
(pertemuan ke-10 sampai dengan 14 tanggal _____________)

V.                METODE PERKULIAHAN
1. ceramah bervariasi
2. diskusi kelompok
3. Presentasi

VI.             MEDIA PEMBELAJARAN
1.      Laptop dan LCD
2.      Gambar
3.      Video/film anak-anak

VII.          EVALUASI/PENILAIAN
1.      Tugas makalah/paper
2.      Performance (praktek mengajar)
3.      Tes tulis

VIII.       REFERENSI
1.      Scoot, Wendy.A. 2000. Teaching English to Children. New York: Longman Inc
2.      Harmer, Jeremy. (2002). The Practice of English Language Teaching. England: Pearson Education Ltd.
3.      Marcos, Kathleen. Children Language. ERIC Clearinghouse on Language and Linguistics. Available on the internet.
4.      Teaching Children English By David Vale and Anne Feunteun

speaking 1 sillaby



COURSE SYLLABI

I.         IDENTITY OF THE SUBJECT
Subject                 : SPEAKING 1
Code                    : 
Credit                   :  2 CREDIT HOURS
Semester               :  1 (    FIRST)
Department          :  ENGLISH
Instructors             :  SUKATMI,S.Pd, M.Pd
II.      DESCRIPTION OF THE SUBJECT
The topics covered in this subject are mainly intended to generate students’ basic competence in speaking English. An emphasis on pronouncing different sounds in English, the subject to give a strong foundation for the students to produce acceptable English utterances. In this subject, students are guided to produce English utterances mostly related to their personal lives and surroundings and to practice several speech functions they may encounter in daily activities, So that this subject can become the foundation for student to get the next subject level.

III.   GOAL OF THE SUBJECT
In speaking the student will be expected to answer short questions, speak fluently and clearly on the chosen topic, and to interact with their partner. They are expected to be able to speak  English by using appropriate langauge variaties fluently and accurately in monologue and interactional communication, pronounce the words and sentences clearly. It is not expected to sound like a native speaker but should be clearly.



IV.   COURSE PLANNING
1.      Providing personal and non- personal information / including expressing information numerically
Topic: Family, food, education
(1st meeting ____________________)

2.      Describing people and/or places and employment  (family, friends, family home)
Topic: custom/traditions, leisure
(2nd meeting____________________)
     
3.      Making comparisons and contrasting
Topic: music/ reading habit (hobby)
(3rd meeting____________________)
    
4.      Describing preference, like/dislikes
Topic: sport, fashion
(4th meeting____________________)
    
5.      Giving reason /explanations, giving examples
Topic: travel – holiday and vacation
(5th meeting____________________)
    
6.      Describing an event
Topic: a special day or festival  
 (6th meeting____________________)
    
7.      Expressing future plans/hopes/wishes/dreams/desires
Topic: Environment, news/ communication
7th meeting

8.      Middle –Test
(8th meeting______________________)
    
9.      Speculating and predicting
 Topic: news/ communication, health
 (9th meeting______________________)

10.  Expressing enthusiasm
(10t h meeting_____________________)

11.   Expressing certainly and uncertainly
(11th meeting_____________________)

12.  Expressing opinion
(12th meeting______________________)     

13.  Expressing condition
 (13th meeting______________________)

14.  Making suggestion
 (14th meeting______________________)

15.  Asking for repetition
 (15th meeting______________________)

16.  Final -Test
(16th meeting______________________)




V.      TEACHING  METHOD
a.    Discussion
b.    Drilling
c.    Game
 
VI.   TEACHING MEDIA
a.    Whiteboard
b.    Laptop and LCD
c.    Text book / conversation (text)
d.   Picture / video

VII.     EVALUATION
Evaluation will be based on the following components:
a.         Participation : 10%
b.         Performance : 20%
c.          MID-TEST :30%
d.         Final Test : 40%

VIII.       Reference
-          Richards, J.C., Hull, J. & Proctor, S. (1990). Interchange: English for international communication (Student’s book 1). Cambridge: Cambridge University Press.
-          IELS  Speaking Module, Online