Isti’jal merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh para da’i,
sehingga seringkali hal ini meskipun diiringi dengan niat yang ikhlas
dan semangat yang tinggi membuat potensi dakwah dan harakah terhambat,
bahkan tidak jarang mundur ke belakang. Bahkan yang lebih parah lagi
lahirnya sikap antipati dan ‘rasa ngeri’ yang dialamatkan kepada dunia
dakwah dan harakah secara keseluruhan. Untuk itu perlu sekali masalah
ini dipahami baik-baik, penyebab dan cara penanggulangannya.
Sebetulnya Islam memandang sifat tergesa-gesa adalah bagian dari watak dasar manusia, seperti yang telah Allah nyatakan :
“Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (QS. 17:11).
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. 21:37)
Oleh karena itu Islam tidak “saklek” memandang isti’jal sebagai suatu
hal yang dibuang jauh-jauh. Sebab ada kalanya sifat ini dibolehkan
manakala persiapannya telah matang dan telah menguasai medan serta
mempertimbangkan masak-masak akibat-akibat yang akan terjadi,
sebagaimana kisah nabi Musa as.
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa. Berkata
Musa : Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu ya
Rabb-ku supaya Engkau ridha (padaku)” (QS. 20: 83-84)
Sebaliknya, jika hanya bermodalkan semangat dan dorongan jiwa yang belum
memungkinkan , maka di sinilah isti’jal merupakan sebuah ‘penyakit’.
Sebab-Sebab Isti’jal
1. Dorongan jiwa.
Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa isti’jal adalah bagian dari
watak dasar manusia, maka jika seorang da’i tidak bisa mengendalikan
dirinya dan berfikir realistis, kemungkinan besar dia akan terperangkap
dalam isti’jal.
2. Semangat dan gejolak Keimanan.
Seseorang yang imannya telah menancap kuat dalam dirinya maka dia akan
melahirkan kekuatan yang amat besar. Jika tidak diarahkan dengan tepat
maka dia akan meledak tanpa menghiraukan dampak yang akan terjadi. Dalam
kerangka inilah dakwah Rasul pada marhalah (fase) Makkiyah lebih
dikonsentrasikan pada kesabaran dan ketabahan.
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik’(QS. 73:10)
3. Era Globalisasi.
Zaman dimana kita hidup kini adalah zaman dimana segala sesuatu
bergerak dengan cepat. Seseorang yang pagi harinya berada di Jakarta
beberapa saat kemudian sudah bisa berada di Cairo, berita yang terjadi
di belahan dunia bisa kita saksikan pada saat yang bersamaan. Gejala
seperti inilah yang menjalar ke arah dunia harakah dimana segala sesuatu
harus dirampungkan secepatnya.
4. Keberhasilan yang dicapai oleh musuh dan kurangnya pemahaman tentang
metode-metode yang mereka gunakan.Tak dapat disangkal lagi bahwa dunia
sekarang ini lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang kafir, sehingga
banyak sekali program-program mereka yang terlaksana. Berdirinya negara
Israel adalah salah satu (dari sekian banyak) bukti keberhasilan mereka
seiring dengan keruntuhan khilafah Usmaniyah. Padahal sebelum itu negara
Israel tak lebih dari angan-angan semata, tetapi setelah merampas
sebagian dari bumi Islam-Palestina- mereka sudah dapat mewujudkan
keinginannya, bahkan sesudah mulai menjalar ke Lebanon dan bukan tidak
mungkin
seluruh negeri Arab lainnya, sesuai dengan impian mereka (orang-orang
Yahudi):Israel Raya dari sungai Nil sampai sungai Eufrat. Belum lagi
penderitaan dan penindasan yang banyak dialami oleh umat Islam di
banyak belahan dunia , kerugian moral ataupun fisik dan hukum-hukum
Allah yang dimulai disingkirkan sedikit demi sedikit, adalah bagian yang
tak terpisahkan dari makar yang terus menerus mereka lakukan di
samping tentu saja kondisi kaum muslim yang semakin jauh dari Dinnnya
Sangat disayangkan kalau kondisi di atas ditanggapi oleh sebagian
kaum muslim sebagai kejadian yang terjadi begitu saja, tanpa mau
memahami bahwa untuk semua itu mereka melalui jalan yang panjang dan
berliku-liku dengan strategi dan tahap-tahap tertentu dan disertai
pengorbanan yang tidak sedikit. Dari sinilah banyak yang ‘nggak sabaran’
ingin mewujudkan keinginan mereka secepatnya sebagai mana orang-orang
kafir telah mewujudkan keinginan mereka.
5. Meluasnya kemungkaran , tetapi tak paham, cara penanggulangannya
yang paling tepat. Di zaman sekarang ini kemungkaran memang sangat
merajalela apalagi sarana dan suasana untuk itu sangat tersedia (atau
justru disediakan?). bagi orang-orang tertentu yang ingin hidup jauh
dari dosa dan penuh dengan nilai –nilai keimanan, suasana seperti itu
sudah barang tentu sangat menyiksa. Sikap seperti itu tentu akan
melahirkan keinginan yang besar untuk menghapus kemungkaran, apalagi
ketika diketahuinya banyak ayat-ayat atau hadits nabi yang menunjukkan
betapa pentingnya kemungkaran dihilangkan. Bahwa menghilangkan
kemungkaran wajib bagi
setiap muslim adalah hal yang tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi yang
perlu diperhatikan adalah bahwa tidak setiap kemungkaran dapat
dihilangkan harus tidak berakibat kepada lahirnya kemungkaran harus
tidak berakibat kepada lahirnya kemungkaran yang lebih besar.
Jika berakibat kepada kemungkaran yang lebih besar maka seorang da’i haru
menahan diri serta menjauh dari nya disertai dengan kebencian dalam hati,
sementara di lain pihak dia harus mencari metode yang paling tepat untuk
menghilangkan sampai terbuka baginya peluang untuk itu.
Cukup bagi kita contoh yang dilakukan Rasulullah SAW. Bagaimana
ketika beliau masih berdakwah dalam marhalah Makkiyah tidak
mengusik-ngusik berhala-berhala yang ada di dalam Ka’bah, karena kalau
itu sampai dilakukan bukan tidak mungkin orang kafir Quraisy akan
menggantikan dengan berhala yang lebih besar dan lebih banyak atau
bahkan dakwahnya di Makkah menjadi terhalang sama sekali. Akan tetapi
beliau tidak tinggal diam, pada saat yang bersamaan berusaha mencari dan
mentarbiyah orang-orang yang bisa diajaknya untuk memperjuangkan
dakwahnya
bersama-sama.
6. Kerja dengan mengabaikan pengalaman sebelumnya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik, orang yang tidak mau belajar dari
pengalaman akan terjebak dua kali di tempat yang sama. Dalam sejarah seringkali
isti’jal yang tidak didahului oleh pembinaan yang mantap hanya memberikan
kesempatan yang lebih besar bagi musuh-musuh Allah untuk segera menumpas lajunya
dakwah dan harakah.
7. Tak kuat menanggung cobaan dan jalan dakwah yang panjang.
Cobaan dan waktu yang terpisahkan dari dakwah itu sendiri, seseorang
yang tidak siap menghadapi hal ini akan sulit bertahan dan akhirnya akan
mengambil jalan pintas. Padahal di zaman Rasul sahabat Kahabbab bi Arit
pernah mengadu dan mohon agar dia berdoa kepada Allah SWT agar
cepat-cepat menurunkan bantuannya setelah beratnya derita dan siksaan
yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepadanya dan sahabat-sahabatnya.
Tetapi untuk pengaduannya itu Rasul masih menganggapnya
‘tergesa-gesa’ sambil membandingkannya dengan umat terdahulu yang tabah
dan tsabat (eksis) di atas jalan Allah meskipun ada yang harus menggali
kuburan untuk dirinya sendiri, di gergaji kepalanya dan tubuhnya dibelah
dua atau ada juga yang disisir dengan sisir besi hingga terkelupas
dagingnya sampai ke tulang-tulangnya.
8. Melupakan ghayah (tujuan) seorang muslim.
Banyak da’i yang keliru menjadikan natijah (hasil) sebagai ghayah dari setiap
usahanya dalam dakwah , sehingga tatkala natijah tak kunjung datang,
hatinya menjadi tak tenteram dan akhirnya mengarah pada sikap isti’jal.
Padahal ghayah seorang muslim adalah mardhotillah dan itu akan terwujud
manakala seorang da’i selalu I’tizam dalam manhaj-Nya serta tsabat
hingga akhir hayat, terlepas apakah dia berhasil atau tidak, karena yang
Allah tuntut adalah usaha seseorang bukan natijahnya.
“Maka siapa yang berharap berjumpa dengan Rabbnya, hendaklah beramal
shalih dan tidak menyekutukannya dalam beribadah kepada Rabb-nya.”(Q.S.
18: 110)
9. Melupakan sunnatullah terhadap orang-orang kafir.
Salah satu sunnatullah terhadap mereka adalah menangguhkan azabnya dan
mengulur-ulur keruntuhannya.
“Dan Aku memberi tangguh kepada mereka, sesungguhnya rencana-Ku amat teguh’(Q.S. 68:45)
10. Keberhasilan yang diraih pada tahap-tahap permulaan.
Adakalanya seseorang terpedaya oleh keberhasilannya sendiri, seperti
jumlah pengikut yang cepat bertambah atau berhasilnya beberapa program
yang dia canangkan, dengan itu dia kira segalanya terbuka lebar untuk
mencapai keberhasilan-keberhasilan berikutnya selekas-lekasnya. Padahal
musuh setiap saat selalu mengintai dan mencari kesempatan yang paling
tepat untuk menghancurkan gerakan dakwah.
11. Berteman dengan seorang yang memiliki sifat isti’jal.
Pengaruh seorang teman sangat besar sekali dalam membentuk pribadi
seseorang, apalagi jika teman tersebut memiliki pribadi yang kuat.
Kemungkinan isti’jal akibat pengaruh teman adalah bukan hal yang
mustahil.
Penanggulangan Isti’jal
1. Memperhatikan kembali dengan cermat dampak negatif yang
ditimbulkan oleh sikap isti’jal yang tanpa perhitungan (tanpa harus
menuding siapa-siapa)
2. Mengambil ibrah dari proses penciptaan alam ini, dimana Allah SWT
dengan segala kekuasaanya mampu menciptakan segala sesuatu dalam
sekejap, tetapi menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari (Q.S.
7:54)
3. Memperhatikan kembali sirah nabawiyah dan para sahabatnya,
bagaimana sabar dan konsistennya mereka dalam jalan Allah walau
menghadapi cobaan yang berat dan jalan yang amat panjang. Begitu pula
sejarahnya pada ulama dan para da’i yang iltizam. Dengan manhaj Allah
dan Rasul-Nya serta sabar di atasnya.
4. Berdakwah atas dasar manhaj yang jelas, memiliki sasaran jangka
pendek dan jangka panjang lengkap dengan marhalah-marhalah yang harus
dilalui. Dengan hal semacam ini potensi yang besar jadi terserap dalam
kerja yang efektif dan efisien tidak diarahkan kepada hal yang malam
memperlemah potensi itu sendiri.
5. Memahami strategi dan metode musuh-musuh Allah dalam menjalankan usaha mereka.
6. Tidak takut dan gentar dengan kondisi musuh-musuh Allah yang telah
mapan dan telah menancapkan kukunya kuat-kuat di dunia Islam,
berdasarkan keyakinan bahwa Allah SWT dapat dengan mudah menghilangkan
semua itu.
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang
kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara,
kemudian tempat mereka adalah jahanam; dan jahanam itu adalah tempat
yang seburuk-buruknya”. (Q.S. 3: 196-197)
“Sesungguhnya orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk
menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu,
kemudian mereka menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.
Dan ke dalam neraka jahannamlah mereka orang-orang kafir dikumpulkan”
(Q.S.8:36)
7. Melatih diri sendiri untuk selalu bersikap hati-hati dalam melakukan tindakan dan punya pandangan jauh ke depan.
8. Mempelajari baik-baik cara menghilangkan kemungkaran supaya tidak
melahirkan kemungkaran baru yang lebih besar dan tentu saja dapat
menghindari sikap isti’jal memperhatikan kembali ghayah yang harus
diraih oleh seorang muslim supaya tidak terburu-buru ingin melihat hasil
yang belum waktunya dan memaksakan kedatangannya.
Seorang Da’i Antara Futur Dan Isti’jal
Futur (patah semangat) dan isti’jal adalah dua hal yang sepatutnya dihindari
oleh seorang da’i , karena kedua-duanya menunjukkan adanya
ketidakseimbangan dakwah di mana salbiyahnya (negatifnya) lebih besar
daripada ijabiyahnya (positifnya). Apalagi dinul Islam adalah din yang
tawazun dalam segala aspeknya begitupun dalam dakwah dan harakah.
Seorang da’i dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan antara futur dan
isti’jal, dalam artian dia harus selalu berusaha meningkatkan dakwahnya
(kuantitas ataupun kualitas) atau paling tidak mempertahankan kondisi
yang sudah ada jangan sampai mundur, serta menggunakan kesempatan dan
potensial yang tersedia juga tidak menyia-nyiakan waktu terbuang
percuma, tetapi juga tidak ‘over dosis’ memaksakan natijah yang belum
waktunya tercapai, sabar terhadap segala cobaan dan optimis terhadap
masa depan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar